Kamis, 25 November 2010

CARA MENOLONG ORANG PELIT

Pada suatu hari, bersama beberapa temannya, Nashrudin berwisata ke sebuah hutan. Bersama mereka, ikut juga seorang kaya-raya yang terkenal kikir. Setelah makan, mereka naik perahu di sebuah telaga yang lumayan besar. Tanpa disengaja, si orang kaya yang kikir tergelincir dari perahu hingga tercebur ke dalam telaga dan nyaris tenggelam karena ia tak bisa berenang. Teman-teman Nashrudin saling berlomba untuk menyelamatkan orang kaya itu dan berseru, "Berikan tanganmu! Berikan tanganmu!" Tapi, meski sudah diteriaki berulang kali dan hampir tenggelam, orang itu tetap tak mau juga mengulurkan tangannya. Nashrudin melihat hal ini dan menyuruh teman-temannya minggir, "Menyingkirlah kalian karena kalian tak tahu cara menolongnya. Ia nyaris tenggelam dan tak mendengar ucapan kita. Orang pelit tidak pernah mengenal kata 'memberi', tapi mereka biasa memakai kata 'mengambil'. Lihatlah caraku menolong orang ini."



Maka Nashrudin mendekat ke arah orang kaya yang sedang megap-megap tersebut dan berkata, "Tuan Bakar Afandi, Ambillah tanganku! Cepat, ambil tanganku!" Seketika itu juga si orang kaya meraih tangan Nashrudin, dan berkata, "Semoga Allah meridhoimu, wahai saudaraku!" Lalu Nashrudin menarik orang itu dan akhirnya berhasil menyelamatkannya.

baca selengkapnya......

Mariyah Qibtiyah

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah Al Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah Saw memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah Saw satu-satunya yang melahirkan seorang putra, yang diberi nama Ibrahim, setelah Siti Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah Saw mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan dihati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.
Rasulullah Saw teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.
Ibrahim bin Muhammad Saw
Allah menghendaki Mariyah Al Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Siti Khadijah. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Saw dengan gembira.
Akan tetapi, dikalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Saw dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah Swt telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. At-Tahriim:1).
Sayidatina Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali disana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abu Thalib menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi saw bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah Saw bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi Saw ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Saw mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah Al Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)
Sumber: suryadhie

baca selengkapnya......

Juwairiyah Binti Al Harits

Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sebelum memeluk islam beliau bernama Burrah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilrnunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.

Berada dalam Tawanan Rasulullah

Di bawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munaflk berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah r.a. turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin. mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putriinya, Juwainiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari.

Juwairiyah adalah sosok wanita yang mampu menjaga izzah (kemuliaan)-nya sebagai seorang wanita terhormat. Ia adalah seorang wanita terpandang di kaumnya yang memiliki kecerdasan akal dan kecantikan fisik. Oleh karenanya, Juwairiyah merasa tidak pantas menjadi seorang tawanan, apalagi sampai direndahkan menjadi seorang budak. Ia pun meyakinkan diri tidak pantas dimiliki oleh Tsabit bin Qais yang hanya prajurit biasa. Kalaupun ada manusia yang diberi kesempatan untuk memiliki dirinya, manusia itu bukanlah Tsabit bin Qais, tetapi siapa yang menjadi pemimpin Tsabit dan pemimpin kaumnya (Kaum Muslim), yaitu Rasulullah saw.

Begitu mengetahui dirinya menjadi tawanan, Juwairiyah mengajukan keinginannya untuk membebaskan diri kepada Tsabit dan Rasulullah saw.

Saat diijinkan bertemu Rasulullah, dia berkata, "Rasulullah, aku Burrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!"

Rasulullah berpikir sejenak. Iba hati Rasulullah menyaksikan Juwairiyah, seorang wanita terhormat yang tiba-tiba berubah menjadi budak. Lalu Rasul balik bertanya, "Maukah engkau yang lebih baik dari itu?"

Jawaban Rasulullah kemudian membuat Juwairiyah tercengang, namun wajahnya berseri-seri. Betapa tidak, selain Rasulullah sendiri yang akan membayar tebusan, Rasulullah pun melamarnya. Dengan senyuman, Juwairiyah menerima pinangan Rasulullah, lalu memeluk Islam.

Setelah itu tersebarlah berita bahwa Rasulullah saw telah menikahi Juwairiyah binti Al-Harits bin Abi Dhirar, maka orang-orang berkata,"Kalau Rasul menikahi Juwairiyah maka tawanan kita adalah kerabat Rasulullah saw, maka mereka melepaskan tawanan perang yang mereka bawa, hal ini menyebabkan Bani Musthaliq berbondong-bondong memeluk islam". Bahkan, Aisyah ra mengatakan "Aku tidak mengetahui jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah."

Mendengar putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abu Dhirar mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, dan menyembunyikan dua ekor unta yang terbaik. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah. Maka Nabi saw bersabda:"Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih diantara kita, apakah anda setuju?."

"Baiklah", katanya.

Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyah dan menyuruhnya untuk memilih dirinya dengan Rasulullah maka Juwairiyah menjawab,"Aku memilih Allah dan Rasul-Nya."

Setelah itu Rasul menanyakan perihal dua ekor unta yang disembunyikan. Mendengar pertanyaan itu Al Harits langsung terperangah, hatinya terguncang hingga tampak bingung. Lalu ia berkata, "Demi Allah, kau benar-benar utusan Allah. Tak ada yang tahu masalah ini selain Allah." Ia lalu masuk Islam, dan secara serentak diikuti seluruh kaumnya.

Berada Di Rumah Rasulullah Saw

Juwairiyah telah memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di antaranya, "Ketika itu Rasulullah saw hendak melakukan shalat fajar dan keluar dan tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahari meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah berkata, 'Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’

Nabi bersabda, 'Aku akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan lebih berat dalarn timbangan, 'Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci Allah Penghias Arasy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya'

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw masuk ke rumah Juwairiyah binti Harits pada hari Jumat sedang ia sedang berpuasa. Lalu Nabi bertanya kepadanya "Apakah engkau berpuasa kemarin?" Dia menjawab "Tidak" dan besok apakah engkau bermaksud ingin berpuasa? "Tidak" jawabnya. Kemudian Nabi bertanya lagi dia menjawab tidak pula. "Kalau begitu berbukalah sekarang!"

Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.

Juwairiyah Binti Al Harits Wafat

Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan sekitar tahun 56 H, pada usianya yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Saw.

Dari berbagai sumber.

baca selengkapnya......

Zainab binti Jahsy

Zainab binti Jahsy, wanita yang paling panjang tangannya

Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pemimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.

Zainab termasuk wanita pertama yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.



Menikah dengan zaid bin Haritsah

Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid bin Haritsah dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin Abdul Muththalib.

Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka,

“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36).

Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi saw ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliyah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah saw menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.

Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak.

Menjadi istri Rasulullah saw

Rasulullah saw mengetahui betul bahwa perceraian pasti terjadi dan Allah kelak akan memerintahkan kepada beliau untuk menikahi Zainab untuk merombak kebiasaan jahiliyah yang mengharamkan menikahi istri Zaid sebagaimana anak kandung. Hanya saja Rasulullah tidak memberitahukan kepadanya ataupun kepada yang lain sebagaimana tuntunan Syar’i karena beliau khawatir, manusia lebih-lebih orang-orang musyrik, akan berkata bahwa Muhammad menikahi bekas istri anaknya. Maka Allah swt menurunkan ayat-Nya,

"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:"Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih kamu takuti. Maka tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini ( istri-istri anak-anak angkat itu ) apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi." (Al-Ahzab:37).

Al-Waqidiy dan yang lain menyebutkan bahwa ayat ini turun manakala Rasulullah saw berbincang-bincang dengan ‘Aisyah tiba-tiba beliau pingsan. Setelah bangun, beliau tersenyum seraya bersabda,"Siapakah yang hendak memberikan kabar gembira kepada Zainab?" Kemudian beliau membaca ayat tersebut. Maka berangkatlah seorang pemberi kabar gembira kepada Zainab untuk memberikan kabar kepadanya, ada yang mengatakan bahwa Salma pembantu Rasulullah saw yang membawa kabar gembira tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa yang membawa kabar gembira tersebut adalah Zaid sendiri. Ketika itu, beliau langsung membuang apa yang ada di tangannya kemudian sujud syukur kepada Allah.

Begitulah, Allah swt menikahkan Zainab binti Jahsy dengan Nabi-Nya melalui ayat-Nya tanpa wali dan tanpa saksi sehingga ini menjadi kebanggaan Zainab dihadapan “Ummahatul Mukminin” yang lain. Beliau berkata,"Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian akan tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya". Dan dalam riwayat lain,"Allah telah menikahkanku di langit". Dalam riwayat lain,"Allah menikahkan ku dari langit yang ketujuh". Dan dalam sebagian riwayat lain,"Aku labih mulia dari kalian dalam hal wali dan yang paling mulia dalam hal wakil; kalian dinikahkan oleh orang tua kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit yang ketujuh".



Wafatnya Zainab binti Jahsy

Zainab adalah seorang wanita salihah, bertakwa dan tulus imannya, hal itu dinyatakan sendiri oleh sayyidah ‘Aisyah,“Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”

Beliau adalah seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau bekerja dengan kedua tangannya, beliau menyamak kulit dan menyedekahkannya di jalan Allah, yakni beliau bagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Tatkala ‘Aisyah mendengar berita wafatnya Zainab, beliau berkata:"Telah pergi wanita yang mulia dan rajin beribadah, menyantuni para yatim dan para janda". Kemudian beliau berkata: "Rasulullah saw bersabda kepada para istrinya: ‘Orang yang paling cepat menyusulku diantara kalian adalah yang paling panjang tangannya’ ".

Maka apabila kami berkumpul sepeninggal beliau, kami mengukur tangan kami di dinding untuk mengetahui siapakah yang paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami lakukan terus hingga wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang paling panjang tangannya di antara kami. Maka ketika itu barulah kami mengetahui bahwa yang di maksud dengan panjang tangan adalah sedekah. Adapun Zainab bekerja dengan tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan di jalan Allah.

Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun 20 H, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.”

baca selengkapnya......

Hindun Binti Abu Umayyah

Hindun binti Hudzaifah (Abu Umayyah) bin Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, dari Bani Makhzum. Bapaknya Hindun adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya.

Ayahnya dijuluki sebagai “Zaad ar-Rakbi ” yakni seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena apabila dia melakukan safar (perjalanan) tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal, bahkan ia mencukupi bekal milik temannya. Adapun ibu beliau bernama ‘Atikah binti Amir bin Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang terhormat. Dikemudian hari, Hindun binti Abu Umayyah dikenal dengan Ummu Salamah.

Disamping beliau memiliki nasab yang terhormat ini beliau juga seorang wanita yang berparas cantik, berkedudukan dan seorang wanita yang cerdas. Pada mulanya dinikahi oleh Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad al-Makhzumi, seorang shahabat yang agung dengan mengikuti dua kali hijrah. Baginya Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri baik dari segi kesetiaan, kataatan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang menggembirakan. Beliau senantiasa mendampingi suaminya dan bersama-sama memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy. Kemudian beliau hijrah bersama suaminya ke Habasyah untuk menyelamatkan agamanya dengan meninggalkan harta, keluarga, kampung halaman dan membuang rasa ketundukan kepada orang-orang zhalim dan kaum kafir . Di Habasyah inilah Ummu Salamah melahirkan Zaynab, kemudian Salamah, Durrah, dan Umar.

Pada Perang Uhud Abu Umayyah, suami pertama Hindun terkena panah pada begian lengan dan tinggal untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah sembuh.

Selang dua bulan setelah perang Uhud, Rasulullah Saw mendapat laporan bahwa Bani Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian beliau memanggil Abu Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Peperangan tersebut dimenangkan kaum muslimin sehingga mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa harta rampasan perang (ghanimah). Disamping itu, mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin tatkala perang Uhud. Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abu Salamah pada hari Uhud kembali kambuh sehingga mengharuskan beliau terbaring ditempat tidur.

Pada suatu pagi Rasulullah Saw datang untuk menengoknya dan beliau terus menunggunya hingga Abu Salamah berpisah dengan dunia. Maka Rasulullah Saw memejamkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia, beliau mengarahkan pandangannya ke langit seraya berdoa,"Ya Allah ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan Al-Muqarrabin dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal’Alamin.”

Ummu Salamah menghadapi ujian tersebut dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan kesabaran beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya.

Sepeninggal Abu Salamah yang telah diakui memiliki kesalehan dan kedudukan istimewa di tengah Kaum Muslim. Ummu Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat Rasul yang datang dengan maksud untuk menikahinya, bahkan, Abu Bakar Assiddiq dan Umar bin Khatthab sekalipun.

Setelah itu Rasulullah Saw mengutus seseorang untuk melamarnya, dan dia berkata, "Selamat datang, katakan kepada Rasulullah aku adalah seorang yang pencemburu dan aku mempunyai anak kecil. Aku juga tidak mempunyai wali yang menyaksikan."

Setelah itu Rasulullah Saw mengirim seorang utusan kepadanya untuk menyampaikan jawaban mengenai perkataannya,"Mengenai perkataanmu bahwa kamu mempunyai anak kecil, maka Allah akan mencukupi anakmu. Mengenai perkataanmu bahwa kamu seorang pencemburu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan kecemburuanmu. Sedangkan para wali, tidak ada seorang pun diantara mereka kecuali akan ridha kepadaku."

Ummu Salamah kemudian berkata kepada anaknya, "Wahai Umar, berdirilah dan nikahkanlah Rasulullah denganku."

Rasulullah Saw bersabda, "Sedangkan aku tidak akan mengurangi apa yang aku berikan kepada si fulanah." Beliau menikahinya tepat pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah.

Maka jadilah Hindun binti Abu Umayyah sebagai Ummul mukminin. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama istri-istri Nabi lainnya. Rasulullah Saw pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya pertama kali sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi istri-istrinya yang lain.

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang cerdas dan matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan dapat mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa Hudaibiyah manakala Rasulullah Saw memerintahkan para sahabatnya untuk menyembelih qurban selepas terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun ketika itu, para sahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum muslimin. Berulangkali Nabi memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja tak seorangpun mau mengerjakannya.

Maka Rasulullah Saw masuk menemui Ummu Salamah dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepadanya perihal kaum muslimin yang tidak mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah berkata, ”Wahai Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu? Jika demikian, maka silahkan anda keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga anda menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk mencukur rambut anda (tahallul)."

Rasulullah Saw menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau. Manakala para sahabat melihat apa yang dikejakan oleh Rasulullah, maka mereka bangkit dan menyembelih qurban mereka, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara bergantian. Hingga hampir-hampir sebagian membunuh sebagian yang lain karena kecewa. Setelah Rasulullah Saw menghadap Allah Swt, maka Ummul Mukminin, Ummu Salamah senantiasa memperhatikan urusan kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau selalu andil dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya umat dan mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para penguasa dari para Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah.

Hindun binti Abu Umayyah, istri Nabi yang terakhir kali meninggal dunia. Diberi umur panjang dan mengetahui pembunuhan Sayyidina Husain, sehingga membuatnya pingsan karena sangat bersedih. Tidak berselang lama setelah peristiwa itu, tatkala tiba bulan Dzulqa’dah tahun 59 setelah hijriyah, ruhnya menghadap Sang Pencipta sedangkan umur beliau sudah mencapai 84 tahun. Beliau wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan kesabaran.

Dari berbagai sumber.

baca selengkapnya......

Zainab binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah, Ibu Orang-orang Miskin
Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang wafat setelah Khadijah r.a. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
Nasab dan Masa Pertumbuhan Zainab binti Khuzaimah
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaymah adalah Ummul Masakin. Gelar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah saw. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.
Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.
Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw. menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah-lembutannya terhadap orang-orang miskin. Sebagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beliau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin.
Meskipun Nabi saw. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.
Selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah kedalam rumah tangga Nabi saw, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah saw. menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Didalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

baca selengkapnya......

Hafshah Binti Umar Bin Khattab

Hafshah binti Umar bin Khattab, mengumpulkan mushaf yang berserakkan

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khatthab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah saw dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah As Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.

Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khatthab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah saw, memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula sewaktu Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fatimah Az Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fatimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah.

Hafshah dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannva dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.



Memeluk Islam

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khatthab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perernpuannya, Fatimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khatthab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.



Menikah dan Hijrah ke Madinah

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khatthab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah . menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.



Cobaan dan Ganjaran

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah saw berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar As Siddiq dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah saw bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar bin Khattab merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah saw dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.



Berada di Rumah Rasulullah

Di rumah Rasulullah saw, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zam’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khatthab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah saw mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah Al Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah saw menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah .

Umar bin Khatthab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah saw pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5).



Cobaan Besar

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah saw menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khatthab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri-istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah saw tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar sesama muslim yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Hafshah wafat pada tahun ke 47 pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.



Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1 Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi saw yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Ridda (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khatthab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak.

Sumber: nadaahmad.blogspot.com

baca selengkapnya......

Aisyah binti Abu Bakar

Aisyah Binti Abu Bakar r.a

Rasulullah saw membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah r.a yang telah banyak dikenal. Ketika wahyu datang pada Rasulullah saw, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya didunia dan diakhirat, sebagaimana diterangkan didalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah r.a,

“Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutra hijau kepada Nabi saw, lalu berkata.’ Ini adalah istrimu didunia dan di akhirat.”

Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah swt yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.

Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi saw diutus menjadi Rasul. Semasa kecil dia bermain-main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah saw usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.

Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a datang wahyu kepada Nabi saw untuk menikahi Aisyah r.a. Setelah itu Nabi saw berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutra seraya berkata,’ Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,’ Jika ini benar dari Allah swt , niscaya akan terlaksana.”

Mendengar kabar itu, Abu Bakar As Siddiq dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah saw setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah saw hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk didalamnya Aisyah r.a.

Dengan izin Allah swt menikahlah Aisyah dengan mas kawin 500 dirham. Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu.

Dihati Rasulullah SAW, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi didalam Islam adalah cintanya Rasulullah saw kepada Aisyah r.a.”

Didalam riwayat Tirmidzi dikisahkan “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah dihadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya,’ Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti istri kecintaan Rasulullah saw.”

Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah SAW terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ‘Demi Allah swt, dia adalah manusia yang paling beliau cintai selain ayahnya (Abu Bakar)’.

Di antara istri-istri Rasulullah saw, Saudah binti Zam'ah sangat memahami keutamaan-keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah saw rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah saw.

Menjelang wafat, Rasulullah saw meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat dirumah Aisyah selama sakitnya hingga wafat. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah saw wafat dipangkuanku.”

Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah saw selama sakit dikamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Rasulullah saw dikuburkan dikamar Aisyah, tepat ditempat beliau meninggal.

Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka dirumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi.”

Ketika Rasulullah saw wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia diantara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar bin Khattab dikubur dirumah Aisyah.

Setelah Rasulullah saw wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap taqdir Allah swt dan selalu berdiam diri didalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah swt.

Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah kemakam Nabi saw. Ketika istri-istri Nabi saw hendak mengutus Ustman bin Affan menghadap khalifah Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi saw yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah saw telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”

Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Didalam Thabaqat, Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul Mukminin Aisyah r.a. Ketika itu Hafshah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.

Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari Al Qur`an dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau. Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah saw jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia memperoleh ilmu langsung dari Rasulullah saw.
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghapalkan hadits-hadits Nabi saw, sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghapal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan Ibnu Abbas.

Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 th, bertepatan dengan bulan Ramadhan,th ke-58 H, dan dikuburkan di Baqi`.

Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah saw, selalu beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.” (HR. Ahmad).

Dari berbagai sumber.

baca selengkapnya......

Saudah Binti Zam'ah

Saudah Binti Zam'ah, Pengisi kesunyian hati Nabi saw

Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dialah Saudah binti Zam'ah.

Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah saw, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Dia Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah bin Qais bin 'Abdi Syams bin 'Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin 'Amir bin Lu'ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al 'Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus binti Qais bin Zaid bin 'Amr bin Labid bin Khaddasy bin 'Amir bin Ghanam bin 'Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As Sakran bin 'Amr Al 'Amiry, Saudah binti Zam'ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah saw. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah saw. Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, rela menempuh penderitaan untuk menyelamatkan agama mereka, hingga sampailah mereka di bumi Habasyah. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.

Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekah, As Sakran bin 'Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yang dirasa karena keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah binti Zam'ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.

Sementara itu, Rasulullah saw tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan sahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang sahabiyah, Khaulah binti Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah saw dengan pertanyaannya,"Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?"

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,"Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?" Khaulah pun menjawab, "Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda." Rasulullah saw bertanya lagi, "Siapa yang gadis?" Jawab Khaulah, "Putri orang yang paling engkau cintai, 'Aisyah putri Abu Bakar As Siddiq."

Rasulullah saw terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, "Siapa yang janda?" Khaulah menjawab, "Saudah binti Zam'ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu."

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah binti Zam'ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah saw. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.

Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah saw pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan 'Aisyah binti Abu Bakar As Siddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin 'Amr Al 'Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badar dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.

Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah saw selama tiga tahun lebih hingga tiba saat Aisyah menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah saw di Madinah.

Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Saudah binti Zam'ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah saw mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi' untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekah untuk membawa Saudah binti Zam'ah beserta putri-putri Rasulullah saw, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi hijrah, Madinah.

Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah saw menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah saw menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah binti Zam'ah berbisik lirih, "Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu."

Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw dan beliau pun menerimanya.

Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah swt menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa,"Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik."

Tinggallah Saudah di dalam rumah yang dipenuhi cahaya kenabian dengan keadaan tenang, ridha dan penuh rasa syukur kepada Tuhannya yang telah membimbingnya sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba Allah yang paling mulia, sebagai ibu bagi kaum mukminin, dan sebagai istri beliau kelak di dalam surga.

Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia menghadap Tuhannya 'azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah

Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah binti Zam'ah, semoga Allah meridhainya.Saudah Binti Zam'ah, Pengisi kesunyian hati Nabi saw

Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dialah Saudah binti Zam'ah.

Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah saw, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Dia Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah bin Qais bin 'Abdi Syams bin 'Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin 'Amir bin Lu'ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al 'Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus binti Qais bin Zaid bin 'Amr bin Labid bin Khaddasy bin 'Amir bin Ghanam bin 'Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As Sakran bin 'Amr Al 'Amiry, Saudah binti Zam'ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah saw. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah saw. Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, rela menempuh penderitaan untuk menyelamatkan agama mereka, hingga sampailah mereka di bumi Habasyah. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.

Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekah, As Sakran bin 'Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yang dirasa karena keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah binti Zam'ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.

Sementara itu, Rasulullah saw tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan sahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang sahabiyah, Khaulah binti Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah saw dengan pertanyaannya,"Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?"

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,"Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?" Khaulah pun menjawab, "Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda." Rasulullah saw bertanya lagi, "Siapa yang gadis?" Jawab Khaulah, "Putri orang yang paling engkau cintai, 'Aisyah putri Abu Bakar As Siddiq."

Rasulullah saw terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, "Siapa yang janda?" Khaulah menjawab, "Saudah binti Zam'ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu."

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah binti Zam'ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah saw. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.

Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah saw pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan 'Aisyah binti Abu Bakar As Siddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin 'Amr Al 'Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badar dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.

Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah saw selama tiga tahun lebih hingga tiba saat Aisyah menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah saw di Madinah.

Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Saudah binti Zam'ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah saw mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi' untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekah untuk membawa Saudah binti Zam'ah beserta putri-putri Rasulullah saw, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi hijrah, Madinah.

Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah saw menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah saw menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah binti Zam'ah berbisik lirih, "Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu."

Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw dan beliau pun menerimanya.

Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah swt menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa,"Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik."

Tinggallah Saudah di dalam rumah yang dipenuhi cahaya kenabian dengan keadaan tenang, ridha dan penuh rasa syukur kepada Tuhannya yang telah membimbingnya sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba Allah yang paling mulia, sebagai ibu bagi kaum mukminin, dan sebagai istri beliau kelak di dalam surga.

Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia menghadap Tuhannya 'azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah

Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah binti Zam'ah, semoga Allah meridhainya.

baca selengkapnya......

Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid, Orang yang pertama kali masuk Islam

Beliau adalah sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiah al-Asadiyah. Dijuluki at-Thahirah bersih atau suci. Terlahir 15 tahun sebelum tahun fiil (tahun gajah).

Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Mahzumi hingga beberapa waktu lamanya, namun akhirnya mereka cerai.

Setelah itu, banyak pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau. Akan tetapi, beliau prioritaskan perhatiannya untuk mendidik putra-putrinya, disamping sibuk mengurusi perniagaan yang memang beliau juga menjadi seorang wanita yang kaya raya.

Suatu ketika beliau mencari orang yang dapat menjual barang dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi) yang memiliki sifat jujur, amanah, dan berakhlak mulia, beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisaroh.

Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisaroh, dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang banyak.

Khadijah merasa gembira dengan keuntungan tersebut. Akan tetapi, ketakjubannya terhahap kepribadian Muhammad lebih besar dari semua itu.

Maka, mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur di benaknya yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana lelaki yang lain dan perasaan-perasaan yang lain.

Akan tetapi, dia merasa pesimis: mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa kata orang nanti, karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraish yang melamarnya?

Di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog, hingga dengan kecerdikannya Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembunyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya.

Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang yang terhormat, memiliki harta, lagi berparas cantik. Hal itu terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.

Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad hingga terjadi dialog yang menunjukkan akan kelihaian dan kecerdikan dia.

Nafisah, “Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?”

Muhammad, “Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.”

Nafisah (Dengan tersenyum berkata), “Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya, cantik, dan berkecukupan, apakah kamu mau menerimanya?”

Muhammad, “Siapa dia?”

Nafisah (Dengan cepat dia menjawab), “Dia adalah Khadijah binti Khuwailid.”

Muhammad, “Jika dia setuju, maka aku pun setuju.”

Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad memberitahukan kepada paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikahi Khadijah. Kemudian, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi keponakannya, dan selanjutnya menyerahkan mahar sebagai tanda sahnya akad nikah tersebut.

Maka, jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri Muhammad dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami daripada kepentingannya sendiri.

Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian pula tatkala Muhammad ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya Abu Thalib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abu Thalib, agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya Muhammad saw.

Dari pernikahan ini Allah memberikan karunia kepada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Berkat pernikahan ini pula, Khadijah merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya, Khadijah terus mendukung perjuangan suaminya. Dari sinilah Zaid bin Haritsah dan keempat putrinya masuk Islam.

Seiring dengan perjuangan ini, kaum muslimin terus ditimpa ujian dan musibah yang sangat berat, akan tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar dan kuat. Ujian demi ujian secara beruntun diberikan Allah SWT.

Kedua putranya yang masih kanak-kanak, yaitu Abdullah dan al-Qasim dipanggil Allah untuk selama-lamanya, namun demikian Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan kaum kafir hingga jiwanya menghadap Sang Pencipta penuh kemuliaan.

Beliau harus juga berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan, karena putrinya hijrah ke negeri Habasyah untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik.

Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah.

Tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotannya terhadap orang-orang Islam untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, dan pemboikotan tersebut mereka tulis dalam sebuah naskah dan mereka tempelkan pada dinding Ka’bah, Khadijah tidak ragu untuk bergabung dalam barisan orang-orang Islam bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasulullah dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala.



[Makam Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid] Makam Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid Beliau curahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian itu di saat umur 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu, wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusullah Khadijah binti Khuwailid, yakni tiga tahun sebelum hijrah.

Dengan perjuangannya yang begitu besar, pantaslah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-Nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di Surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya dan tidak ada pula keributan di dalamnya. Karena itu pula Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik wanita surga adalah Maryam binti Imron dan sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid.”

Ya Allah, ridhailah Khadijah binti Khuwailid, as-Sayyidah at-Thahiroh. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah dijalan agamanya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.

baca selengkapnya......

Sejarah Kabah

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia ialah Baitullah yang di Makkah yang diberkahi.” (Al-Imran, ayat 96).
Interior Di Dalam Ka'bah
Kabah adalah bangunan suci Muslimin yang terletak di kota Mekah didalam Masjidil Haram. Ia merupakan bangunan yang dijadikan patokan arah kiblat atau arah shalat bagi umat Islam diseluruh dunia. Selain itu, merupakan bangunan yang wajib dikunjungi atau diziarahi pada saat musim haji dan umrah.
Kabah berbentuk bangunan kubus yang berukuran 12 x 10 x 15 meter. Kabah disebut juga dengan nama Baitullah atau Baitul Atiq (rumah tua) yang dibangun dan dipugar pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah Nabi Ismail berada di Mekah atas perintah Allah. Kalau kita membaca Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 37 yang berbunyi, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman didekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Interior Ka'bah
kalau kita membaca ayat diatas, kita bisa mengetahui bawah Kabah telah ada sewaktu Nabi Ibrahim AS menempatkan istrinya Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut. Jadi Kabah telah ada sebelum Nabi Ibrahim AS menginjakan kakinya di Mekah.
Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun, pada saat itu beliau belum diangkat menjadi Rasul, bangunan ini direnovasi kembali akibat bajir yang melanda kota Mekah pada saat itu. Sempat terjadi perselisihan antar kepala suku atau kabilah ketika hendak meletakkan kembali Hajar Aswad namun berkat hikmah Rasulullah perselisihan itu berhasil diselesaikan tanpa kekerasan, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Banjir Di Ka'bah Pada zaman Jahiliyyah sebelum diangkatnya Rasulullah SAW menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah, Kabah penuh dikelilingi dengan patung-patung yang merupakan Tuhan bangsa Arab, padahal Nabi Ibrahim AS yang merupakan nenek moyang bangsa Arab mengajarkan tidak boleh mempersekutukan Allah, tidak boleh menyembah Tuhan selain Allah yang Tunggal, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak beranak dan diperanakkan. Setelah pembebasan kota Mekah, Kabah akhirnya dibersihkan dari patung-patung tanpa kekerasan dan tanpa pertumpahan darah.
Kunci Ka'bah
Selanjutnya bangunan ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci Kabah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan, baik pemerintahan khalifah Abu BakarUmar bin KhattabUtsman bin AffanAli bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekah dan Madinah.
Pada zaman Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS pondasi bangunan Kabah terdiri atas dua pintu dan letak pintunya terletak diatas tanah, tidak seperti sekarang yang pintunya terletak agak tinggi. Namun ketika renovasi Kabah akibat bencana banjir pada saat Rasulullah SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi Rasul, karena merenovasi Kabah sebagai bangunan suci harus menggunakan harta yang halal dan bersih, sehingga pada saat itu terjadi kekurangan biaya. Maka bangunan kabah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian Kabah yang tidak dimasukkan kedalam bangunan Kabah yang dinamakan Hijir Ismail yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi Kabah. Saat itu pintunya dibuat tinggi letaknya agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab.
Gambar Denah Ka'bah
Karena agama Islam masih baru dan baru saja dikenal, maka Nabi SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali Kabah sehingga ditulis dalam sebuah hadits perkataan beliau: “Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu Kabah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Kabah”, sebagaimana pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.”
Jadi kalau begitu Hijir Ismail termasuk bagian dari Kabah. Makanya dalam bertawaf kita diharuskan mengelilingi Kabah dan Hijir Ismail. Hijir Ismail adalah tempat dimana Nabi Ismail AS lahir dan diletakan di pangkuan ibunya Hajar.
Ketika masa Abdurahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan Kabah dibuat sebagaimana perkataan Nabi SAW atas pondasi Nabi Ibrahim AS. Namun karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam, terjadi kebakaran pada Kabah akibat tembakan pelontar (Manjaniq) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Kabah berdasarkan bangunan hasil renovasi Rasulullah SAW pada usia 30 tahun bukan berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim AS. Dalam sejarahnya Kabah beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur bangunan.
Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali kabah sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi SAW, namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan masalah khilafiyah oleh penguasa sesudah beliau dan bisa mengakibatkan bongkar pasang Kabah. Maka sampai sekarang ini bangunan Kabah tetap sesuai dengan renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai sekarang
Hajar Aswad
Hajar Aswad
Hajar Aswad merupakan batu yang dalam agama Islam dipercaya berasal dari surga. Yang pertama kali meletakkan Hajar Aswad adalah Nabi Ibrahim AS. Dahulu kala batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah Arab. Namun semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam. Batu ini memiliki aroma wangi yang unik dan ini merupakan wangi alami yang dimilikinya semenjak awal keberadaannya. Dan pada saat ini batu Hajar Aswad tersebut ditaruh disisi luar Kabah sehingga mudah bagi seseorang untuk menciumnya. Adapun mencium Hajar Aswad merupakan sunah Nabi SAW. Karena beliau selalu menciumnya setiap saat bertawaf. Dan sunah ini diikuti para sahabat beliau dan Muslimin.

Makam ibrahim
Maqam Ibrahim AS
Makam Ibrahim bukan kuburan Nabi Ibrahim AS sebagaimana banyak orang berpendapat. Makam Ibrahim merupakan bangunan kecil terletak disebelah timur Kabah. Di dalam bangunan tersebut terdapat batu yang diturunkan oleh Allah dari surga bersama-sama dengan Hajar Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim AS berdiri di saat beliau membangun Kabah bersama sama puteranya Nabi Ismail AS. Dari zaman dahulu batu itu sangat terpelihara, dan sekarang ini sudah ditutup dengan kaca berbentuk kubah kecil. Bekas kedua tapak kaki Nabi Ibrahim AS yang panjangnya 27 cm, lebarnya 14 cm dan dalamnya 10 cm masih nampak dan jelas dilihat orang.

Multazam
Multazam Multazam terletak antara Hajar Aswad dan pintu Kabah berjarak kurang lebih 2 meter. Dinamakan Multazam karena dilazimkan bagi setiap muslim untuk berdoa di tempat itu. Setiap doa dibacakan di tempat itu sangat diijabah atau dikabulkan. Maka disunahkan berdoa sambil menempelkan tangan, dada, dan pipi ke Multazam sesuai dengan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan sunan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
Sumber: hasanalsaggaf.wordpress.com

baca selengkapnya......

Kisah Ya'juj Dan Ma'juj

Saat menjelang wafat, Nabi Nuh a.s memanggil anak-anaknya untuk menghadap beliau. Maka Sam a.s segera datang menemuinya, namun kedua saudaranya tidak muncul yaitu Ham dan Yafits. Akibat dari ketidakpatuhan Ham dan Yafits, Allah kemudian menurunkan ganjaran kepada mereka.

Yafits yang tidak datang karena lebih memilih berdua dengan istrinya (berhubungan suami istri) kemudian melahirkan anak bernama Sannaf. Kelak kemudian Sannaf menurunkan anak yang ganjil. Ketika dilahirkan, keluar sekaligus anak-anak dalam wujud kurang sempurna. Selain itu ukuran besar dan bobot masing-masing juga berbeda, ada yang fisiknya besar sedangkan lainnya kecil. Untuk selanjutnya yang besar kemudian terus tumbuh hingga melebihi ukuran normal (raksasa), sebaliknya yang bertubuh kecil terus kecil seperti liliput. Mereka kemudian dikenal sebagai Ya’juj dan Ma’juj.

Selain wujudnya yang ganjil, Ya’juj dan Ma’juj mempunyai nafsu makan yang melebihi normal. Padahal bilamana mereka makan tumbuhan tertentu maka tumbuhan itu akan berhenti tumbuh sampai kemudian mati. Demikian pula bila minum air dari suatu tempat maka airnya tidak akan bertambah lagi. Sehingga banyak sumber-sumber air dan sungai menjadi kering karenanya. Masyarakat di sekitar mereka pun harus menanggung dampaknya yaitu krisis pangan dan air.

Karena interaksi sosial yang tidak kondusif akibat masalah yang dibawa oleh Ya’juj dan Ma’juj ini maka mereka kemudian cenderung mengisolasi diri di suatu celah gunung di tengah-tengah komunitas induk bangsa-bangsa keturunan Yafits lainnya, yang antara lain meliputi bangsa: Armenia, Rusia/Slavia, Romawi dan Turk di wilayah-wilayah luas seputar Laut Hitam. Namun bilamana mereka membutuhkan makan dan minum, akan keluar secara serentak bersama-sama ke daerah-daerah sekitarnya yang masih belum tersentuh oleh mereka sebelumnya. Karena kondisi fisiknya, mereka mampu menempuh perjalanan jauh dalam waktu relatif lebih pendek dibandingkan oleh manusia normal. Bagi golongan raksasa karena mereka mampu melangkah dengan jangkauan lebar sedangkan golongan liliput adalah karena sedemikian ringan bobotnya terhadap gravitasi bumi sehingga bila berjalan sangat cepat seperti meluncur bersama angin.

Pada puncak keresahan masyarakat pada masa itu, Allah SWT kemudian mengutus salah satu hambaNya yang berkulit kehitaman (tetapi bukan termasuk ras negro) dengan dua benjolan kecil (tidak bertulang tanduk) di kedua sisi keningnya yang sebenarnya lebih sering tak tampak karena tertutupi oleh surbannya yaitu Nabi Dzul Qarnain a.s untuk menghadang laju Ya’juj dan Ma’juj yang telah menimbulkan kerusakan alam yang akan terus bertambah luas.

"Berilah Aku potongan-potongan besi," hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah dzulqarnain,"Tiuplah (api itu)," Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata,"Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu." -Al Kahfi: 96-

Sesuai petunjuk Allah, Nabi Dzul Qarnain a.s kemudian mengajak masyarakat di sekitar lokasi tempat tinggal Ya’juj dan Ma’juj untuk bersama-sama membuat dinding tembaga dan besi yang akan menutup satu-satunya lubang keluar masuk mereka. Setelah selesai, masyarakat yang sebelumnya tinggal di dekat dinding diajak untuk meninggalkan lokasi yang sudah kering tanpa air dan tumbuhan tersebut menuju ke tempat lain yang lebih layak untuk di huni.

"Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya." -Al Kahfi: 97-

Ya’juj dan Ma’juj yang telah terkurung terus berupaya membuka dinding logam tersebut dengan segala cara, bahkan dengan menjilatinya karena mereka tahu bahwa benda apapun yang mereka sentuh dengan mulutnya akan berhenti tumbuh/bertambah, kering atau tergerus. Cara ini mampu membuat bagian-bagian dinding yang mereka sentuh menjadi tipis. Namun setiap kali akan berlubang, Allah mengembalikan lagi kondisinya seperti semula. Untuk bertahan hidup selama terkurung di balik dinding, Allah menumbuhkan sejenis lumut, sebagai satu-satunya tumbuhan yang dapat terus tumbuh dan justru makin bertambah banyak setiap kali dimakan oleh masyarakat Ya’juj dan Ma’juj.

"Dzulqarnain berkata,"Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku. Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar." -Al Kahfi: 98-

Allah SWT juga mewahyukan kepada Nabi Dzul Qarnain a.s bahwa dinding itu akan terjaga dan baru akan terbuka bila saatnya tiba yaitu kelak menjelang datangnya Hari Kiamat. Kemudian Allah menjadikan gaib (tidak terlihat) lokasi dinding tersebut.

"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi." -Al Anbiyaa: 96-

Mereka berusaha untuk keluar dengan berbagai cara, hingga sampai saat matahari akan terbenam mereka telah dapat membuat sebuah lobang kecil untuk keluar. Lalu pemimpinnya berkata,'Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini." Namun keesokkan harinya lubang kecil itu sudah tertutup kembali seperti sedia kala atas kehendak Allah. Mereka pun bingung tetapi mereka bekerja kembali untuk membuat lubang untuk keluar. Demikian kejadian tersebuat terjadi berulang-ulang. Hingga kelak menjelang Kiamat, di akhir sore setelah membuat lubang kecil pemimpin mereka berkata,“InsyaAllah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini.” Maka keesokan paginya lubang kecil itu masih tetap ada, kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya. Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi.

Pada saat Ya'juj dan Ma'juj menyerang pada saat mendekati kiamat nanti dan saat itu masyarakat muslim termasuk Nabi Isa a.s yang telah terpojok di sebuah gunung (tur). Nabi Isa dan Umat muslim lalu bersama-sama berdoa kepada Allah agar terhindar dari masalah akibat perbuatan Ya’juj dan Ma’juj. Kemudian Allah SWT memerintahkan ulat-ulat yang tiba-tiba menembus keluar dari tengkuk Ya’juj dan Ma’juj yang langsung mengakibatkan kematian mereka secara serentak. WaAllahu 'Alam.

Dari berbagai sumber.

baca selengkapnya......